Jumat, 16 Maret 2012

Kenapa Mencium Hajar Aswad?

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Maaf Pak ustadz, saya ingin tanya karena merasa heran aja gitu loh...
Apakah saya salah bila saya beranggapan bahwa Batu Hitam itu hanyalah sebuah meteorid, karena dijaman Nabi tentu saja beliau tidak mengetahui apa itu meteorid, kan beliau -maaf- bukan orang terpelajar...
Kenapa kok kalo kita mencium Batu Hitam tersebut adalah dibolehkan, sementara kalo kita mencium batu di Indonesia dikatakan musyrik. Kan sama-sama batu nya.
Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu 'alaikum

jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Rasulullah SAW memang bukan orang pernah duduk di bangku sekolah, tetapi bukan berarti Rasulullah SAW bodoh. Sebab dia berguru langsung kepada Tuhan semesta alam. Jadi kalau anda katakan beliau itu bodoh, rasanya kurang tepat.
Beliau justru orang paling pandai di dunia, untuk ukuran orang di zamannya bahkan untuk ukuran orang di zaman sekarang ini. Beliau tahu banyak hal, meski bukan berarti boleh digolongkan sebagai scientis. Sebab tugas beliau yang utama memang bukan untuk jadi ilmuwan, melainkan menjadi nabi atau utusan Allah.
Kalau pun beliau tidak bisa baca dan tulis, itu masalah yang sederhana. Buat apa bisa baca tulis kalau kitab literaturnya tidak tersedia? Sebab di negeri Arab saat itu memang tidak tersedia perpustakaan besar.
Seandainya beliau bisa baca tulis dan punya ratusan perpustakaan, lantas buat apa kalau dia bisa langsung tanya kepada Allah SWT?
Bayangkan kehidupan fiksi ilmiyah film Startrek, di sana kita tidak butuh buku, karena apa pun yang kita tidak tahu, kita bisa tanya kepada komputer. Cukup dengan suara, tanpa harus mengetikkan apa pun. Dan komputer canggih di abad 24 itu akan menjawab apapun yang kita tanyakan.
Padahal komputer itu cuma buatan manusia, yang punya kemampuan menyimpan jutan Terra byte data dari seluruh ilmu manusia.
Sementara ilmu Allah jauh lebih luas, digambarkan seandainya pohon-pohon di dunia ini dijadikan pena dan lautan dijadikan tintanya, maka sudah habis tinta itu, ilmu Allah belum selesai ditulis.
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu." (QS. Al-Kahfi: 109)
Nah, kalau ada seseorang yang punya fasilitas bisa mengakses langsung kepada Allah SWT dan ilmunya, apakah kita boleh mengatakan orang itu bodoh? Bahkan meski orang itu tidak bisa baca tulis, tetap saja dia orang paling pintar dan paling banyak ilmunya di dunia ini.
Hajar Aswad Bukan Meteorit
Kalau dikatakan bahwa hajar aswad itu meteorit, sebenarnya agak kurang tepat juga. Sebab yang namanya meteorit itu pecahan benda-benda angkasa yang tertarik oleh gravitasi bumi. Padahal dalam riwayat resmi versi Allah SWT, batu hitam itu didatangkan dari surga. Dan surga bukan angkasa di sekitar bumi. Juga bukan nyasar dan terpengaruh gravitasi bumi, sebagaimana batu meteorit lainnya.
Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW bersabda, "Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, warnanya lebih putih daripada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adamlah yang menjadikannya hitam. (Jami al-Tirmidzi al-Hajj (877), derajat hadis Hasan Shahih).
Jadi Rasulullah SAW jauh lebih tahu urusan hajar aswad ketimbang kita, yang hanya dengar-dengar saja lalu mengatakannya sebagai meteorit. Bukan, hajar aswad bukan sekedar meteorit melainkan batu yang asalnya dari surga nun jauh di sana.
Kenapa Kita Mencium Hajar Aswad
Para orientalis kafir yang sejak awal memang dengki kepada umat Islam, selalu menuduh umat Islam ambigu. Kata mereka, umat Islam di satu sisi tidak mau menyembah berhala, tapi disisi lain malah menyembah hajar aswad dan ka'bah.
Ini bukti bahwa ilmu para orientalis itu sangat dangkal dan sama sekali tidak tahu sejarah Arab. Padahal sejarah sudah sangat jelas menunjukkan bahwa orang Arab sejak dahulu tidak pernah menyembah hajar aswad, apalagi ka'bah. Tidak pernah ada satu pun literatur yang menyebutkan bahwa bangsa arab pernah melakukannya.
Bangsa Arab di masa paganismenya menyembah 360 berhala yang diletakkan di dalam dan di sekeliling ka'bah. Tapi tidak pernah menyembah ka'bah. Demikian juga, mereka tidak pernah menyembah batu hitam (hajar aswad). Yang mereka sembah itu patung yang diukir dan dibuat membentuk dewa-dewa. Tapi mereka tidak pernah menyembah batu sebagai bahan dasar pembuatan patung.
Makanya tanpa harus diajari lagi, orang Arab yang kemudian masuk Islam pun sudah tahu posisi mereka terhadap hajar aswab. Mereka tidak menyembahnya. Bahkan Umar bin Al-Khattab kita kenal dengan ungkapannya yang abadi:
"Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah batu yang tidak membahayakan, dan tidak pula dapat memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullaah s.a.w. menciummu, maka sekali-kali aku tidak akan menciummu." (H.R. Bukhari).
Rasulullah SAW mencium hajar aswad karena batu itu mulia dan berasal dari surga. TApi bukan karena kita diajarkan untuk menyembah batu itu.
Dari Ibn Abbas bahwa Nabi Muhammad s.a.w. tidak melambaikan tangan (menyalami) kecuali kepada Hajar Aswad dan Rukun Yamani.
Hajar Aswad Sekarang
Hajar Aswad merupakan sebuah batu yang tertanam di pojok Selatan Kabah pada ketinggian sekira 1, 10 meter dari tanah. Panjangnya sekira 25 sentimeter dan lebarnya sekira 17 sentimeter.
Awalnya Hajar Aswad adalah satu bongkah batu saja, tetapi sekarang berkeping-keping menjadi 8 gugusan batu-batu kecil karena pernah pecah. Hal ini terjadi pada zaman Qaramithah yaitu sekte dari Syiah Ismailiyyah al-Baatiniyyah dari pengikut Abu Thahir al-Qarmathi yang mencabut Hajar Aswad dan membawanya ke Ihsaa pada tahun 319 H, tetapi kemudian dikembalikan lagi pada 339 H.
Gugusan terbesar seukuran satu buah kurma, dan tertanam di batu besar lain yang dikelilingi oleh ikatan perak. Inilah batu yang kita dianjurkan untuk mencium dan menyalaminya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Ahmad Sarwat, Lc

Mana yang Lebih Utama, Naik Haji atau Menyantuni Anak Miskin?

Assalamualaikum wr. wb.
Pak ustadz,
Manakah yang harus kita dahulukan, bila kita mempunyai cukup uang untuk naik haji, namun tetangga kita banyak anak-anak yang menderita busung lapar dan tidak sekolah, apakah uang itu untuk menyantuni anak miskin di sekitar kita, misal dengan mengangkat banyak anak asuh, atau membuka usaha kecil untuk lapangan kerja orang tua anak-anak tersebut yang tidak punya pekerjaan tetap, namun uang itu tidak cukup bila untuk keduanya. Mohon jawaban dan penjelasan pak ustadz.
Wassalamualaikum wr. wb.

jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Apa yang anda tanyakan ini sesungguhnya masuk dalam wilayah fiqih prioritas. Yaitu sebuah teknik menganalisa prioritas-prioritas dalam beribadah. Kajian ini banyak dibicarakan oleh para ulama dan ditulis dalam banyak kitab. Salah satuicon yang bisa kita sebut dalam Dr. Yusuf Al-Qaradawi yang telah menulis satu kitab khusus dengan judul Fiqih Prioritas.
Kajian ini mencoba menggugah perasaan dan pemikiran yang selama ini dianggap agak kurang seimbang dan kurang adil. Salah satunya tentang kebiasaan ibadah haji yang dilakukan oleh berjuta umat Islam, di mana mereka sebenarnya sudah pernah berhaji wajib sebelumnya, namun bertekad tiap tahun untuk berhaji lagi.
Niat untuk berhaji tiap tahun sebenarnya tidak salah. Sebab ibadah haji memang boleh dibilang sebagai puncak rasa cinta dan ketundukan kita kepada Allah SWT.
Namun yang mengusik rasa keadilan dan rasa solidaritas para ulama adalah ketimpangan sosial yang sangat mencolok. Salah satu fenomenanya demikian: pada saat berjuta orang mengejar pahala ibadah haji sunnah yang bukan wajib dengan biaya yang bermilyar, di belahan bumi lain kita menyaksikan dengan mata telanjang bagaimana sebagian umat Islam mati kelaparan, baik karena bencana atau pun korban perang.
Saat orang-orang kaya dengan ringannya bolak balik ke tanah suci untuk beri'tikaf Ramadhan, masih banyak anak-anak umat Islam yang tidak sekolah karena tidak ada biaya. Mereka akan segera menjadi sampah masyarakat bila dibiarkan tumbuh tanpa pendidikan.
Saat orang kaya muslim berlomba mendirikan banguan masjid yang megah, berhias marmer tak ternilai harganya, jutaan umat Islam sedang dimurtadkan oleh para misionaris palangis.
Perbandingan fenomena yang timpang ini tentu sangat mengusik rasa keadilan dan rasa sosial para ulama. Sehingga sebagian mereka menghimbau agar lebih memperhatikan masalah ini.
Bukankah haji yang mereka kerjakan itu bukan haji wajib? Bukankah kewajiban haji mereka sudah gugur? Bukankah biaya haji itu tiap tahun itu akan jauh lebih bermanfaat dan berbekas bila digunakan untuk memberi makan korban bencana alam dan korban perang, yang hukumnya fardhu?
Bukankah biaya umrah Ramadhan tiap tahun itu sangat besar, padahal hukumnya hanya sunnah dan berdimensi sangat pribadi? Seandainya uang jutaan mu'tamirin untuk sekali bulan Ramadhan itu sepakat dikumpulkan untuk membangun proyek sekolah gratis di dunia Islam, sudah lebih dari cukup?
Bukankah masjid di banyak kota di negeri ini sudah sangat banyak? Bahkan tidak jarang dalam jarak yang sangat dekat terdapat beberapa masjid sekaligus, sehingga jumlah jamaah yang shalat di masing-masing masjid jadi sedikit?
Mengapa dana membangun masjid yang bermilyar itu tidak digunakan untuk melindungi saudara-sudara kita yang sedang mengalami proses pemurtadan? Bukankah melindungi iman jauh lebih penting dari sekedar bermegahan dan berlomba membangun masjid yang sudah terlalu penuh?
Semua pemikiran kritis ini sama sekali tidak berniat untuk mengecilkan nilai ibadah haji, umrah dan membangun masjid. Akan tetapi perlu diketahui bahwa haji berkali-kali tiap tahun, demikian juga dengan umrah serta kemegahan masjid, bukanlah amal yang bersifat wajib. Sementara memberi makan korban bencara alam, memberikan pendidikan serta melindungi iman dari kemurtadan, hukum fardhu.
Maka sesuatu yang fardhu dan bersifat massal harus lebih dipriorotaskan dari ibadha yanghukumnya sunnah lagi berdimensi individual.
Sayangnya kesadaran akan hal seperti ini masih kurang di tengah umat Islam, terutama di kalangn orang-orang kaya di antara mereka. Buktinya, jamaha haji yang sudah gugur kewajiban hajinya masih tetap memaksa berangkat haji tiap tahun. Umrah Ramadhan tiap tahun pun tidak kalau berjejalnya dengan musim haji.
Semua ini tentu sangat menggugah rasa keadilan, bahkan sangat tidak memenuhi kaidah fiqih prioritas, lantara ada sejumlah orang yang ngotot mengejar pahala sunnah dan indvidual dengan meninggalkan kewajiban yang lebih asasi dan bersifat jama'i.
Karena itu kampanye dan sosialisasi fiqih proritas perlu terus digalakkan, terutama oleh kalangan ustadz dan para penceramah, yang punya akses penuh kepada khalayak umat Islam.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Konsep Berhaji yang Sebenarnya

Pak Ustadz yang saya hormati,
Saya memahami bahwa haji adalah serangkaian ibadah ritual di Makkah di mana yang melakukannya harus sudah mampu, terutama mampu secara finansial.
Baru-baru ini teman saya ada yang berkata bahwa, haji bukan hanya serangkaian ibadah ritual saja, tapi ada sesuatu yang cukup besar di balik itu. Dia berkata bahwa, ada hadist yang berisi "Haji adalah arofah." Kalau dipahami secara makna harfiahnya, kata arofah berarti pertemuan. Jadi sebenarnya haji itu adalah "pertemuan" antara utusan/duta dari penjuru dunia di mana persyaratannya bukan hanya mampu secara finansial, tapi dianggap mampu mewakili komunitas/negaranya. Tentu saja orang-orang pilihan. Lalu saya tanyakan, berarti orang yang tidak cukup mampu (dalam artian untuk memenuhi kriteria sebagai duta) sebenarnya tidak perlu berhaji. Dia menjelaskan, itulah makanya ada hadist yang antara lain berisi bahwa ada ibadah atau perbuatan tertentu yang pahalanya setara dengan haji.
Menurut saya konsep ini sungguh fantastis dan besar. Bayangan seluruh orang muslim mengikat tali silaturahmi yang selalu diperbaharui terus setiap tahunnya mengandung kekuatan yang sangat dahsyat. Tapi yang menjadi pertanyaan saya, betulkah konsep ini menurut Islam? Adakah dalil atau penjelasan yang memang ada landasannya.
jazakallahu atas jawabannya ustadz.

jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuh,
Pemikiran seperti yang anda sebutkan itu memang benar, tidak ada salahnya. Tetapi kalau sampai mengatakan bahwa orang yang tidak pantas menjadi duta tidak perlu pergi haji, tentu saja tidak benar. Sebab syarat wajib dan syarat sah ibadah haji tidak mencantumkan kapasitas seseorang harus bisa jadi duta.
Jangan lupa bahwa meski kita dibolehkan menguraikan falsafah ibadah haji secara nalar dan logika pemikiran sebagaimana teman anda itu, akan tetapi jangan sampai melanggar aturan kongkrit yang esensial dari segi fiqihnya. Misalnya, jangan mentang-mentang kita ingin mengatakan bahwa haji itu adalah pertemuan international para duta dari berbagai wilayah, lalu kita kelewatan dan menghilangkan ritual wuquf di Arafah sebagai bagian pokok ibadah haji. Seharusnya kedua sisi falsalah dan fiqih harus sejalan dengan berlandaskan dalil-dalil yang kuat.
Dari segi falsafahnya, ibadah haji memang merupakan sebuah even umat Islam sedunia, besar dan terbesar di dunia. Tidak pernah ada ritual agama di mana pun yang bisa mengumpulkan jumlah jamaah sampai 3 jutaan manusia di satu titik di permukaan bumi.
Yang menarik lagi, ritual seperti ini terjadi setiap tahun tanpa dikomando atau disuruh-suruh. Semua berjalan secara otomatis tanpa ada kekuasaan atau kekuatan manusia apapun di belakangnya. Juga tidak pernah ada kepentingan ormas, orsospol, negara atau yayasan apapun yang berhak mengklaim bahwa ritual itu milik mereka.
Mestinya kesempatan berkumpul dengan duta-duta umat Islam sedunia itu harus terjadi padang Arafah itu. Paling tidak, acara wuquf itu menjadi simbol persatuan dan kesatuan umat Islam sedunia. Pakaian mereka yang seragam itu adalah cerminan bahwa mereka tidak mewakili negara manapun, karena pada hakikatnya semua umat Islam di mana pun adalah satu. Bayangkan, umat Islam sedunia berkumpul di satu titik dengan jumlah 3 juta. Menakjubkan!
Namun kalau anda pernah ikut haji langsung dan hadir di padang Arafah yang sesungguhnya, secara teknis memang tidak terlalu mudah ide itu diwujudkan. Sebab yang namanya duta atau perwakilan umat Islam sedunia, tentu tidak sebanyak itu. Kalau tiga juta orang hadir dalam waktu bersamaan, diskusinya bagaimana? Pakai bahasa apa? Lagian, mereka tinggal di tenda-tenda yang tidak permanen.
Kenyataannya mereka malah sibuk mengatur urusan masing-masing, ketimbang mengadakan acara diskusi misalnya. Sebab secara teknis memang kurang memungkinkan.
Tetapi sebagai sebuah simbol, tentu even Arafah itu memang punya daya tarik tersendiri. Kita bisa ambil perbandingannya dengan beragam acara muktamar yang digelar ormas tertentu di negeri kita. Di lokasi muktamar, memang ada sidang-sidang dan agenda pembahasan sebagai sentral, tetapi yang ikut tidak semua pengunjung adalah peserta muktamar. Dengan jumlah ribuan itu, yang ramai adalah suasana di luar sidang. Pasar malam, tabligh akbar, pameran, temu budaya, ajang kesenian dan lainnya biasanya lebih semarak.
Barangkali di luar acara puncak ritual Arafah, para duta betulan yang memang secara formal benar-benar diangkat oleh umat Islam dari sekian wilayah boleh berkumpul. Mereka adalah para ulama, umara, ahul halli wal 'aqdi, pemikir, dosen atau minimal orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Adapun umumnya jamaah haji yang kita saksikan, banyak di antara mereka yang sudah tua, jompo, penyakitan dan orang-orang lemah. Tentu bukan pada tempat kalau kita mengharuskan mereka jadi duta.
Jangankan jadi duta, sekedar berkomunikasi pun mereka kesulitan. Bukankah salah satu sebab tragedi Mina tiap tahun itu adalah lantaran tidak terjadi saling paham bahasa antara jamaah haji dengan para petugas. Petugas bersikukuh untuk menggunakan bahasa Arab, sementara jamaah haji yang 3 juta itu berbahasa sesuai dengan bahasa lokalnya masing-masing. Begitu petugas memberi komando, tak satu pun yang paham. Terus kalau sudah begini, mau diskusi apa?
Jadi bolehlah kita sebut bahwa wuquf di Arafah adalah tempat berkumpulnya duta umat Islam sedunia. Namun biar bagaimanapun wuquf ini tetaplah sebuah ritual. Tetapi untuk menggelar acara diskusi, sidang pembahasan dan sejenisnya, tentu kurang visible bila dilakukan pada momentum itu.
Sebenarnya Rasulullah SAW sudah memberi conoth kongkrit untuk ritual Arafah ini, yaitu khutbah Arafah, yang seharusnya dipimpin oleh satu Khatib saja dan didengar oleh semua jamaah. Tapi lagi-lagi, kondisi padang Arafah yang tidak ada masjid atau bangunan apapun membuat jamaah haji terpetak-petak dalam wilayah yang luas dan berkapling-kapling. Di Arafah tidak ada masjid atau bangunan yang mampu menampung 3 juta jamaah sekaligus, tidak seperti Masjid Al-Haram di dalam kota Makkah. Masjid itu memang mampu menampung jutaan manusia sekaligus dan dilengkapi dengan sound system terbaik di dunia. Sudah ada garis-garis shafnya yang rapi dan teratur, sehingga jutaan jamaah bisa terlihat sangat kompak.
Pemandangan seperti itu tidak akan terjadi di padang Arafah. Mereka berkeliaran kesana kemari, masing-masing sibuk dengan rombongannya. Tiap kelompok membuat acara sendiri-sendiri di dalam tenda masing-masing.
Wassalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

Seorang Wanita Naik Haji tanpa Suami

Assalamualaikum Pak Uztad,
Sebaiknya bagaimana kalau seorang wanita akan pergi haji sendiri tanpa suami? Hal ini disebabkan suami menyuruh pergi sendiri saja, karena dia belum merasa siap.
Terima kasih atas jawabannya.
Wassalam,

jawaban

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang telah disepakati oleh para ulama dalam masalah wanita bepergian adalah ditemani oleh suaminya, ayahnya atau mahramnya. Ada sedemikian banyak hadits Rasulullah SAW yang menekankan hal itu, antara lain:
Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita kecuali bila ada mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya." Ada seorang yang berdiri dan bertanya,"Ya Rasulullah SAW, istriku bermaksud pergi haji padahal aku tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu." Rasulullah SAW bersabda, "Pergilah bersama istrimu untuk haji bersama istrimu." (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad.)
Pengertian yang langsung terbetik di kepala kita bila membaca hadits ini adalah bahwa kalau kewajiban ikut jihad fi sabilillah saja bisa dibatalkan karena harus mengantar istri pergi haji, berarti menemani istri pergi haji itu jauh lebih penting dan lebih diutamakan dari jihad fi sabilillah.
Padahal kita tahu bahwa jihad fi sabilillah itu sangat tinggi nilai pahalanya di sisi Allah. Tetapi Rasulullah SAW lebih memperioritaskan agar seorang suami mengantarkan istrinya pergi haji.
Sehingga para ulama umumnya mengharamkan wanita sendirian pergi haji ke tanah suci dengan dasar hadits ini. Apalagi bepergian di luar keperluan haji, tentu saja jauh lebih terlarang lagi bila tanpa ditemani. Hal itu juga diungkapkan oleh Ibrahim An-Nakha`i ketika seorang wanita bertanya via surat bahwa dia belum pernah menjalankan ibadah haji karena tidak punya mahram yang menemani. Maka Ibrahim An-Nakha`i menjawab bahwa anda termasuk orang yang tidak wajib untuk berhaji. Kewajiban harus adanya mahram di atas adalah sebuah pendapat yang dipegang dalam mazhab Hanafi dan para pendukungnya. Juga pendapat An-Nakha`i, Al-Hasan, At-Tsauri, Ahmad dan Ishaq.
Khilaf Ulama
Namun pendapat ini meski mewakili pendapat jumhur (mayoritas) ulama, namun bukan berarti satu-satunya pendapat yang boleh diterima. Ada sebagian ulama yang berpandangan sedikit berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh mayoritas ulama.
Seorang wanita boleh bepergian untuk haji asal ada sejumlah wanita lain yangtsiqah (dipercaya). Ini adalah pendapat yang didukung oleh Imam Asy-Syafi`i ra. Bahkan dalam satu pendapat beliau tidak mengharuskan jumlah wanita yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa cukup seorang wanita pergi haji sendirian tanpa mahram asal kondisinya aman.
Namun semua itu hanya berlaku untuk haji atau umrah yang sifatnya wajib. Sedangkan yang sunnah tidak berlaku hal tersebut. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi yang menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada wanita yang pergi haji dari kota Hirah ke Makkah dalam keadaan aman. Rasulullah SAW bersabda,
"Wahai 'Adi, bila umurmu panjang, wanita di dalam haudaj (tenda di atas punuk unta) bepergian dari kota Hirah hingga tawaf di Ka`bah tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja." (HR Bukhari)
Selain itu pendapat yang membolehkan wanita haji tanpa mahram juga didukung dengan dalil bahwa para istri nabi pun pergi haji di masa khalifah Umar ra, setelah diizinkan oleh beliau. Saat itu mereka ditemani Utsman bin Affan ra dan Abdurrahman bin Auf ra. Demikian disebutkan di dalam hadits riwayatAl-Bukhari.
Ibnu Taimiyah sebagaimana yang tertulis dalam kitab Subulus Salammengatakan bahwa wanita yang berhaji tanpa mahram, hajinya syah. Begitu juga dengan orang yang belum mampu bila pergi haji maka hajinya syah.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

Bolehkah Haji Di Bulan Lain?

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz yang saya hormati, melihat fenomena haji yang selalu saja ada korban meninggal tiap tahunnya dikarenakan tumpleknya jutaan manusia pada satu waktu pada satu tempat yang sama (Mekah, atau Madinah, atau Arafah). Yang ingin saya tanyakan bisakah haji itu dilaksanakan di bulan yang lain (Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah) sebagaimana disebutkan Al-Qur’an "haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi" (QS 2:197). Dan saya pikir, ayat tadi dapat mengantisipasi lonjakan jumlah jamah haji yang sudah jutaan seperti sekarang ini. Mohon pencerahanya dan Sebelumnya terima kasih atas jawabanya.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb

jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Haji itu memang dilakukan dalam tiga bulan yang disebutkan, yaitu Syawwal, Dzul Qa'dah dan Dzul Hijjah. Namun maksudnya adalah bahwa ibadah itu bisa dimulai semenjak bulan Syawwal berturut-turut ke bulan berikutnya, Dzul Qa'dah dan bulan berikutnya lagi, Dzul Hijjah.
Akan tetapi haji itu ada acara puncaknya, yaitu hari Arafah yang jatuh pada bulan Dzul Hijjah tanggal 9. Acara puncak itu mau tidak mau harus diikuti oleh siapapun yang ingin melakukan ibadah haji. Sebab esensi ibadah haji justru ada pada hari tanggal 9 Dzulhijjah itu. Siapa pun yang pada hari itu tidak mampu hadir di Padang Arafah, maka tidak ada ibadah haji untuknya.
Bahkan mereka yang sedang terbaring lemah di rumah sakit, khusus pada hari itu akan disafari-wuqufkan, yaitu dinaikkan ambulan lalu ambulan itu bergerak ke Arafah. Asal sudah memasuki wilayah Arafah walau hanya beberapa saat, dimulai setelah matahari tergelincir tengah hari pada tanggal itu, sudah sah wuqufnya, sehingga hajinya pun sah juga.
Sebaliknya, walau sejak tanggal 1 Syawwal sudah nongrong di Arafah sampai tiga bulan lamanya, tetapi tepat pada tanggal 9 Dzulhijjah malah tidak berada di sana, tidak ada ibadah haji untuknya. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW
الحج عرفة
Beribadah haji itu (intinya adalah wuquf) di Arafah.
Lagi pula sebenarnya yang rawan berdesakan itu bukan pada hari Arafah, sebab Padang Arafah itu cukup luas untuk dihadiri secara bersama oleh 2 juta jamaah haji.
Yang rawan adalah pada saat melempar jamarah di Mina, yaitu pada tanggal 10, 11, 12 atau 13 Dzulhijjah. Sebab dari segi komposisi ibadahnya, dalam teknis melempar jamarat itu, setiap orang dari 2 juta orang harus satu persatu melakukannya pada 3titik berbeda secara berurutan. Jumlahnya ada 3 titik, yaitu Ulaa, Wustha dan Aqabah. Jumlah lemparannya masing-masing ada 7 lemparan batu kerikil. Jadi sekali berangkat melontar harus menyiapkan 7x3 batu yang berbeda untuk dilakukan di tiga titik berbeda yang saling berdekatan.
Kalau yang melakukannya 10 atau 20 orang, barangkali tidak pernah ada masalah. Tapi bayangkan kalau dilakukan pada jam yang sama oleh 2 juta orang dari berbagai bangsa yang berbeda. Beda bahasa, beda perilaku, beda gaya dan beda strategi melempar. Tentu saja urusannya menjadi hiruk pikuk. Apalagi bentuknya melempar batu. Maka semakin seru saja suasana di Mina. Apalagi kalau mengingat ukuran luas wilayah jamarat yang memang terbatas serta sulit dimodifikasi lagi. Padahal selama ini pemerintah Saudi Arabia telah berinisiatif membuat tempatnya menjadi dua lantai, namun tetap saja titik tempat melempar jamarat adalah titik yang paling rawan.
Mina sendiri pun juga tidak terlalu luas wilayahnya. Sedangkan para jamaah haji tidak tinggal di dalam gedung, melainkan di tenda. Senyaman apapun tenda, tetap saja tenda dengan segala kekurangannya.
Namun kota Makkah, kota Madinah dan Masjid Al-Haram sendiri sangat berbeda suasananya. Tempat-tempat itu penuh dengan gedung megah pencakar langit, demikian juga masjid Al-Haram. Dibangun dengan teknologi tercanggih yang pernah dikenal manusia. Sama sekali tidak ada masalah dengan tempat-tempat itu. Dan selama hampir 40-an hari, para jamaah haji tinggal di Makkah dan Madinah. Kecuali pada tanggal 9 s.d. 13 Dzulqa'dah, barulah mereka berada di Padang Arafah, Muzdalifah dan Mina. Pada hari-hari itulah biasanya rawan terjadi apa yang tidak kita inginkan.
Namun ide untuk mengubah acara puncak haji di luar tanggal 9 s/d 13 Dzul Hijjah adalah ide yang keluar dari syariah haji. Pastilah ide ini akan mengundang kontroversi yang berujung kepada kegagalan. Sebab ritual ibadah haji sudah baku dari segi tanggalnya. Maka kemungkinan terbesar adalah merekonstruksi teknis pelaksanaannya di lapangan. Misalnya mengadakah studi besar-besaran demi menjaga alur jamaah haji ketika melempar jamarah. Dan ide ini setiap saat terbuka untuk terus diperbaharui.
Barangkali anda punya ide? Silahkan sampaikan, tapi jangan ganti tanggalnya.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

Benarkah Ka'bah Itu Adalah Kuburan?

Assalamu'allaikum
Ada seorang dalam chatroom muslim masuk dan mengirim pesan 'kabah itu kuburan, bukankah kita dilarang menyembahnya. Lalu kenapa kalian menyembah kuburan.
Saya memang tidak menyembah ka'bah, melainkan mengarahkan kiblat. tapi yang menjadi pertanyaan saya sebenarnya apa kabah sesungguhnya?
Wassalamu'allaikum

jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Ka'bah adalah sebuah bangunan yang didirikan oleh para malaikat di muka bumi. Tujuannya untuk persiapan kehidupan pertama manusia di muka bumi, untuk menjadi rumah bagi manusia untuk beribadah kepada Allah.
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.(QS. Ali Imran: 96)
Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa ka'bah dibangun pertama kali oleh malaikat, jauh sebelum nabi Adam alaihissalam diturunkan ke muka bumi. Kemudian di zaman banjir besar nabi Nuh, diriwayatkan bahwa ka'bah ini ikut hilang tertelan air. Lalu ketika nabi Ibrahim diutus, salah satu tugas beliau adalah mendirikan kembali ka'bah di atas bekas reruntuhannya.
Ka'bah Bukan Kuburan
Orang yang mengatakan bahwa ka'bah itu adalah kuburan tentu saja bukan orang yang mengerti sejarah. Sebab tidak ada satu pun literatur yang menyebutkan hal itu, baik literatur dari Islam atau pun dari Arab pra Islam.
Bahkan ketika dahulu bangsa Arab masih menyembah berhala, hingga jumlahnya sampai 360 buah dan di letakkan di sekeliling ka'bah, juga tidak ada yang mengatakan bahwa ka'bah adalah kuburan.
Arab Jahilyah Tidak Menyembah Ka'bah
Dan lebih dari itu, tak seorang pun bangsa Arab yang menyembah ka'bah. Memang benar bahwa orang Arab suka menyembah berhala, baik patung yang terbuat dari batu, atau pun yang terbuat dari roti dan kurma, tapi belum pernah kita dapat dari syi'ir dan sastra mereka, bahwa mereka menyembah ka'bah.
Maka pernyataan bahwa umat Islam menyembah ka'bah adalah pernyataan yang justru mempertontonkan kebodohan dirinya sendiri. Dan pernyataan itu tidak perlu dijawab, karena lahir dari keawaman yang teramat nyata.
Bahkan Abu Jahal, Abu Lahab, Umayyah dan kelompoknya, seandainya mereka masih hidup, akan tertawa terbahak-bahak sampai perutnya kejang-kejang, kalau menuduh orang Arab menyembah ka'bah.
Boleh jadi mereka akan bilang, "Mas, sampeyan iku nek arep ngantemi golongane Muhammad, mbok yo ojo ngono iku, kok rodho goblok to mas." Yang terjemahaanungkapan itu dalam dialek betawi akan jadi seperti ini, "Eh tong, lu kalo mo nampol gerombolan Muhammad, kagak gitu carenye, mangkenye belajar, oon juga sih lu."
Maka untuk jadi orang kafir dan menyerang agama Islam, seseorang memang perlu belajar. Sebab kalau tidak, yang terlihat adalah kepandiran yang menghina diri sendiri.
Tapi memang dilematis juga sih orang-orang kafir yang anti Islam itu. Sebab kalau mau kelihatan agak pinter, kan mereka harus belajar, misalnya belajar sejarah. Tapi ada resikonya.
Apa resikonya?
Kalau banyak belajar dan baca literatur, nantibisa-bisa jadi pinter dan mendapat banyak fakta, siapa yang mau nganggung kalau sampai mendapat hidayah? Bagaimana nanti kalau malah sampaimasuk Islam?
Dan nyatanya, mau ke mana saja, orang yang belajar itu pasti akan bertemu dengan fakta yang sesungguhnya tentang kebenaran Islam. Dan ujung-ujungnya, tidak ada jalan kecuali kembali ke pangkuan Islam.
Dankebingungan orang kafir seperti ini juga pernah dialami oleh Abu Jahal and the gank. Sampai mereka harus melarang orang Arab mendengarkan Al-Quran. Sebab menurut mereka, orang yang mendengarkan Al-Quran itu pasti akan terpengaruh dan bisa masuk Islam.
Padahal orang Arab yang rata-rama maniak sastra, nyaris tidak bisa dilarang untuk mendengarkan lantunan syi'ir yang indah, tak terkecuali Al-Quran. Maka meski boikot dan larangan mendengarkan Al-Quran itu berlaku secara formal, ternyata diam-diam justru para gembong pemuka Quraisy mencuri dengar, diam-diam pada malam hari mereka mengendap-endap datang ke rumah Rasulullah SAW atau tempat di mana beliau SAW berkumpul dengan para shahabatnya.
Dan lucu kejadiannya, ternyata mereka bertemu di tempat yang sama, sama-sama saling menangkap basah temannya yang telah melanggar kesepakatan yang mereka buat sendiri.
Jadi kesimpulannya, no way to escape dari kebenaran Islam. Mka wajar bila pada akhirnya seluruh pemuka Quraisy masuk Islam berbondong-bondong. Semakin seorang kafir menghina dan menuduh jelek terhadap agama Islam, semakin nyata kebodohan dan ketololan mereka.
Makanya kalau mau jadi orang kafir, mendingan diam saja, dari pada malah mempermalukan diri sendiri di depan pentas dunia.
Tapi yang lebih bodoh dari orang bodoh adalah tindakan mempercayai dan mengikuti perkataan orang bodoh. Dan sayangnya, kita kok masih saja melihat ada umat Islam yang suka mendengarkan celoteh miring tentang Islam dari orang-orang yang sudah kita sepakati kebodohannya. Lalu yang benar-benar bodoh siapa nih?
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

Ka'bah Itu Apa Isinya? Ka'bah Itu Apa Isinya?

Assalammu 'alaikum Wr. Wb.
Ustadz yang dirahmati Allah SWT. Saya ingin menanyakan, apa isi dari Ka'bah itu? Klo dulu diceritakan di dalam Ka'bah itu kan banyak berhalanya termasuk patung Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS, terus dikeluarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Terus sekarang isinya apa?
Sekian pertanyaan saya.
Mohon maaf apabila ada kesalahan kata-kata.
Wassalammu 'alaikum Wr. Wb.

jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Kami jelas tidak tahu apa isi ka'bah sekarang ini. Sebab hanya orang-orang penting seperti presiden sebuah negara yang berhak untuk memasukinya. Itu pun karena menjadi tamu raja di negara itu.
Mantan Presiden Soeharto dan rombongan konon malah pernah diberi kehormatan untuk masuk ke dalamnya. Mungkin anda bisa bertanya kepada rombongan yang ikut pada tahun 1991 itu.
Tapi kalau sekedar foto yang menggambarkan isi ka'bah, kita bisa dapati banyak di internet. Dan menurut mereka yang pernah masuk, foto-foto itu memang benar-benar pemandangan isi ka'bah yang sesungguhnya.
Jadi kalau anda ingin bertanya, apakah isi ka'bah, maka silahkan saja melihat foto ini. Ternyata isi ka'bah itu kosong saja, kecuali ada tiga tiang besar di dalamnya, sebagaimana terlihat dalam gambar.
Kalau tidak salah, gambar ini diambil pada salah satu momentum di mana ada tamu negara yang diberi kehormatan untuk memasukinya. Dan barangkali gambar ini diambil diam-diam oleh tamu itu. Mengingat secara resmi petugas masjid Al-Haram mengharamkan pemotretan di lokasi masjid, apalagi kalau sampai di dalam ka'bah.
Sebagian kalangan juga membenarkan foto ini lantaran serupa dengan gambar denah yang diterbitkan resmi oleh kerajaan, sebagaimana yang kita lihat dalam gambar ini.
Tapi yang jelas pertanyaan anda sudah terjawab lewat foto ini, bukan? Berhala yang berjumlah 360 itu memang sudah tidak ada, sudah dihancurkan sejak Fathu Makkah 14 abad yang lalu.
Bagaimana? Anda ingin dan bercita-cita bisa masuk ka'bah suatu ketika nanti? Syaratnya mungkin harus jadi presiden dulu ya? Atau setidaknya ikut dalam rombongan Presiden, entah jadi wartawan, pengawal atau bahkan tukang bawakan tas presiden.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc